Selamat Datang di Blogku.....
jangan lupa tinggalkan komentar yaw......
makasih.....

Rabu, 04 Juli 2012

Faktor Penyebab Bunuh Diri

Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut padadasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu, rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di samping itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada di otak, akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis lainnya (dalam Maris dkk., 2000).
Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris dkk.,2000; Meichenbaum, 2008):
1. Major-depressive illness, affective disorder
2. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh memiliki level alkohol dalam darah yang positif)
3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri
4. Sejarah percobaan bunuh diri
5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga
6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan
7. Hopelessness dan cognitive rigidity
8. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan, pernikahan, seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan dengan kelompok teman yang suicidal)
9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas
10. Rendahnya tingkat 5-HIAA
11. Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global, halusinasi perintah)
12. Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan bunuh diri)
13. Akses pada media untuk melukai diri sendiri
14. Penyakit fisik dan komplikasinya
15. Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas

Pentingnya kreativitas dalam Konseling

Pentingnya Kreativitas Dalam Konseling
Oleh,
Ahmad Ali Rahmadian

Konseling merupakan proses ko-kreatif antara konselor dan konseli yang lahir dari keadaan frustasi atau ambigu serta adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah (Hecker & kottler, 2002). Melalui proses konseling, konselor akan membantu konseli untuk menelaah dan menguji world view konseli serta mengkonstruksi atau merekonstruksi makna suatu peristiwa dalam kehidupan konseli (Raskin, 1999). Keadaan dan aktivitas yang terjadi selama proses konseling menunjukkan pentingnya kreativitas dalam konseling. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Carson, Becker, Vance, & Forth (2003) kreativitas konselor dalam konseling memberikan banyak manfaat bagi keberhasilan konseling. Menurut Gladding (2008), kreativitas dalam konseling bermanfaat dalam meningkatkan efektivitas konseling dan berperan penting dalam memajukan profesi konseling.

Meskipun kreativitas merupakan hal yang esensial dalam proses konseling, namun proses kreatif tidak terjadi secara otomatis. Konselor perlu memfasilitasi terciptanya suasana yang aman dan mendukung sehingga konseli mampu secara kreatif mengkaji masalah, membangun perspektif alternatif terhadap masalah, serta menghasilkan dan mengevaluasi beragam pilihan solusi masalah. Menurut Gladding (2002, dalam Carson & Becker, 2004), kreativitas dalam konseling merupakan sebuah pengalaman yang menimbulkan pencerahan bagi konseli. Dalam konteks ini konselor berperan sebagai katalis yang membantu konseli membangkitkan kemampuan kreatifnya. Meskipun kreativitas merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan konseling, masih banyak konselor yang tidak menyadari dan tidak terlatih dalam mengakses dan memberdayakan kreativitas dirinya dan konseli (Hecker & Kottler, 2002).
Terdapat tiga faktor yang bersinergi untuk mendorong berkembangnya kreativitas dalam konseling, yaitu faktor kepribadian konselor dan konseli, faktor proses konseling, dan faktor hasil konseling. Faktor kepribadian merujuk pada kapasitas konselor untuk bersikap terbuka dan kesediaan bermain dengan ide atau pendekatan baru, kerja keras, persistensi, dan keberanian konselor dalam mengambil resiko yang terukur (Gladding, 2002. Dalam Carson & Becker, 2004). Konseling juga berkaitan dengan upaya konselor mengembangkan kapasitas-kapasitas ini dalam diri konseli. Graham Wallas (dalam Gallagher, 1985) dalam penelitiannya mengidentifikasi empat tahap yang diperlukan dalam proses kreatif, yaitu (1) tahap persiapan yang mengacu pada kondisi kemampuan, bakat, minat, dan akumulasi pengalaman seseorang sebagai prasyarat proses kreatif, (2) inkubasi yaitu tahap dimana berbagai informasi, pengalaman, gagasan mengalami pengendapan dan pengeraman, (3) iluminasi yaitu tahap dimana seseorang mengalami semacam pencerahan, suatu kesadaran baru disebut dengan pengalaman “aha” dalam menemukan gagasan baru, (4) verifikasi yaitu tahap menguji gagasan kreatif. Proses kreatif dalam konseling juga mencakup penggunaan berbagai teknik kreatif yang memanfaatkan imajinasi, gambar, drama, musik, cerita, dan berbagai barang sehari-hari (Jacobs, 1992; Alamia & Hawkins, 2005; Schimmel,2006; Gladding, 2008; Skudrzyk, dkk, 2009). Sedangkan faktor produk berkaitan dengan hasil akhir konseling yang dapat berbeda antara beragam konseli tergantung pada masalah dan sumber daya yang tersedia.
Kreativitas dalam konseling berhubungan erat dengan proses membantu klien untuk mengalami (experiencing) suasana tertentu yang bersifat terapetik. Menurut Carpenter (2002, dalam Carson & Becker, 2004) keadaan mengalami ini memiliki beberapa manfaat karena:
  • Manusia belajar sebagian besar melalui proses mengamati dan mengalami. Manusia mengingat dan belajar lebih banyak melalui apa yang mereka lihat dan alami, bukan pada apa yang mereka dengar.
  • Manusia dapat lebih dekat dengan perasaan mereka sendiri melalui pengalaman, bukan percakapan.
  • Keadaan mengalami membuat konseli lebih sulit menggunakan mekanisme pertahanan diri dalam melawan perubahan yang diperlukan.
  • Keadaan mengalami dapat membantu konseli untuk cepat masuk kedalam situasi terapetik.
 Sumber : Ahmad Ali Rahmadian. (2011). Kreativitas dalam Konseling. Paper presented at the International Seminar & Workshop Contemporary and Creative Caunseling.

TIPE TEMPERAMEN KONSELOR & CORAK INTERAKSI KONSELING



Pelayanan bimbingan dan konseling sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan sebagai sebuah sistem. Untuk menjadikan Bimbingan dan Konseling sebagai model pelayanan  berkualitas, tak terpisahkan dari tipe temperamen konselor sebagai salah satu unsur dari kepribadian (personality).  Para ahli di bidang konseling  berpendapat bahwa efektivitas dan keberhasilan dalam interaksi konseling banyak dipengaruhi oleh watak, konselor, temperamen, sikap, minat dan daya penyesuaian diri dari konselor. Belkin dalam bukunya “Practical Counseling in the Schools” (1981),  mengemukakan efektifitas pekerjaan seorang konselor harus ditunjang dengan adanya sejumlah kualitas kepribadian yang dapat ditampung dalam 3 hal, yaitu mengenal diri sendiri, memahami orang lain dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Masing-masing aspek mendapat rincian dengan menyebutkan sejumlah kualitas kepribadian, seperti merasa aman dengan diri sendiri, percaya pada orang lain, dan memiliki keteguhan hati dalam mengenal diri; keterbukaan hati, kebebasan dari cara berpikir yang kaku, kepekaan dan empati dalam memahami orang lain, sejati serta tulen, bebas diri kecenderungan untuk menguasi orang lain, kemampuan mendengarkan dengan baik, penghargaan terhadap orang lain, kejujuran, kesungguhan, dapat diandalkan, dan kemampuan mengungkapkan pikiran serta perasan dalam kata-kata dan isyarat-isyarat dalam kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
A.  Pengertian  Temperamen.
Pemahaman tentang temperamen sering  dikacaukan dengan pengertian kepribadian. Namun sebenarnya keduanya diakui adanya perbedaan. Temperamen adalah disposisi yang sangat erat hubungannya dengan faktor-faktor biologis dan fisiologis dan karenanya sangat kecil mengalami modifikasi di dalam perkembangannya. Temperamen merupakan unsur dari kepribadian, bahkan bagi Alport, temperamen adalah bagian khusus dari kepribadian. Dia mendefinisikan: “Temperamen adalah gejala karakteristik daripada sifat emosi individu, termasuk juga mudah tidaknya kena rangsangan emosi, kekuatan suasana hatinya, segala cara daripada fluktuasi dan intesitas suasana hati; gejala ini tergantung kepada faktor konstitusional, dan karenanya terutama berasal dari keturunan” (Alport (1951)
Kita perhatikan dalam peristiwa hidup sehari-hari, misalnya di tempat kerja, pernahkan anda memperhatikan bahwa rekan-rekan kerja Anda mempunyai watak yang berbeda-beda satu dengan lainnya?. Ada yang selalu gembira, ada yang selalu murung, ada yang mudah bergaul dan mendapatkan tempat baru, ada yang pendiam dan senang menyendiri, ada yang cepat marah, mudah tersinggung, ada juga yang sangat penyabar. Apa sebenarnya yang membedakan sikap dan perilaku mereka masing-masing? Ternyata temperamen  kita menentukan bagaimana kita bersikap dan berperilaku. Memang temperamen bukanlah satu-satunya hal yang mempengaruhi perilaku seseorang, sebab semasa kita kecil yang hidup dalam lingkungan keluarga, pendidikan, latihan dan motivasi yang kita terima dari orang tua juga memberikan pengaruh terhadap tingkah laku kita dalam kehidupan. Namun tetap harus diakui bahwa temperamen memberikan pengaruh yang besar dalam perilaku hidup kita, termasuk cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Misalnya seseorang yang ekstrovet (terbuka) akan tetap ekstrovet selama hidupnya. Demikian juga dengan orang yang introvet (pendiam),mungkin saja ia menjadi lebih agresif , namun akan tetap sebagai seorang yang sifatnya pendiam.
Bagi seorang Konselor sekolah, mengenal temperamen sangat penting, sebab dia mempunyai tugas salah satunya adalah memberi bantuan dan bimbingan bagi siswa yang bermasalah. Tidak jarang masalah siswa yang muncul justru sering dilatarbelakangi oleh  temperamennya. Misalnya dia mempunyai persoalan dalam hal bergaul, oleh karena dia mempunyai temperamen yang introvet. Bagaimana mungkin seorang Konselor akan dapat membantunya jika dia sendiri mempunyai persoalan yang sama-sama memiliki tempermen yang introvet? Dengan mengenal temperamen setidaknya seorang konselor akan mampu mencari treatment yang tepat bagi dirinya sebelum dia memberi treatment pada siswa yang bermasalah. Adalah temperamen seseoranglah yang membuat dia sangat lincah, atau pemalu, mampu berkomunikasi atau takut bergaul. Temperamen yang dimiliki seorang konselor akan sangat mewarnai bagaimana dia bersikap, berperilaku dan berpenampilan didepan siswa atau klonselinya.
Temperamen merupakan bagian dari aspek kepribadian (personality) yang banyak dicermati oleh tokoh-tokoh pedagogik, sosiolog mapun psikolog. Dalam paparan ini penulis mengkaji teori temperamen yang untuk pertama kali diberikan oleh Hippocrates (460-370), bapak ilmu kedokteran. Dia membedakan tipe temperamen seseorang berdasarkan pada  dominasi cairan-cairan yang ada dalam tubuh manusia, yaitu: Chole, yang mempunyai sifat kering, melanchole sifat basah, phlegma sifat dingin dan sanguis yang mempunyai sifat panas. Atas dasar dominasi cairan badaniah itulah manusia memiliki empat katagori, yaitu: sanguin, kolerik, melankolik dan flegmatik, yang selanjutnya oleh Galenus disebutnya sebagai temperamen.  Selanjutnya Krestchmer, salah seorang tokoh tipologi konstitusional berpendapat bahwa temperamen merupakan bagian kejiwaan yang nampaknya dengan melalui darah secara kimiawi mempunyai korelasi dengan aspek jasmaniah. Temperamen ini bersifat heriditer dan tak dapat diubah oleh pengaruh dari luar. Dia memiliki pengaruh terhadap dua macam kualitas kejiwaan seseorang, yaitu suasana hati (stimmung) dan tempo psikis. Tiap-tiap tempermen  memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing yang berbeda dengan temperamen lainnya.  Berikut kelemahan dan keunggulan masing-masing temperamen berdasarkan pada teori temperamen Hippocrates – Galenus.
1). Kolerik. Seorang yang bertipe kolerik mempunyai sifat-sifat  khas, sebagai berikut: memiliki  semangat hidup yang besar (hidup), optimistis, daya juang besar/memiliki kemauan yang keras., aktif dan cepat bertindak, terbuka, hatinya, memilki daya penyesuaian diri dengan lingkungan secara baik, mudah melakukan penyesuaian, mudah terbakar, pemarah, sehingga sering terjadi emosional yamng muncul sesaat kurang dapat terkonnontrol dengan baik. Kemarahan yang dimiliki oleh seorang kolerik bertahan lama, artinya seorang kolerik tidak mudah menghilangkan kemarahannya dalam waktu singkat. Ia selalu membawa kemarahannya dalam jangka waktu lama. Seorang ayah yang memiliki temperamen kolerik sering berdampak pada gangguan emosioanl pada anak-anaknya. Seorang kolerik juga mempunyai sifat agresif sehingga hal ini sering memberikan kesan bahwa dia seorang yang tidak sabar. Seorang kolerik selalu dipenuhi dengan aktivitas. Ia tidak perlu distimulasi oleh lingkungannya, justru dialah yang akan memberikan stimulasi kepada lingkungannya  dengan ide-idenya, perencanaannya, tujuannya dan juga ambisinya yang tidak pernah kunjung habis. Biasanya ia tidak ingin melibatkan kegiatan yang tidak memiliki tujuan, menghendaki kegiatan yang praktis dengan membuat keputusn secara tepat dan logik. Seorang kolerik juga memiliki kesanggupan untuk memberikan motivasi kepada orang lain secara alamaih, memiliki keyakinan diri yang penuh, dengan memiliki kesadaran atas tujuan serta dapat memberikan inspirasi kepada orang lain untuk melihat tujuan tersebut.
2). Melankolik. Seorang yang bertipe melankolikk mempunyai sifat-sifat  khas, sebagai berikut: mudah kecewa, daya juang kecil, muram, pesimis. Sifat khas ini yang sering kali membuat seorang melankolik kurang mampu bergaul dengan orang lain, sehingga sedikit sekali mempunyai teman. Ia jarang mendorong dirinya untuk bertemu dengan orang lain, sebaliknya ia membiarkan orang lain datang kepadanya. Secara alamiah ia adalah seorang pendiam, namun sebab perasaannya menguasainya, ia memiliki suasana hati (mood) yang bervariasi atau dengan kata lain keadaanya yang  musim-musiman. Kadang-kadang ia mendapat rangsangan yang tinggi yang menyebabkan dia dapat berbicara banyak, menjadi seorang yang sangat ceria seperti seorang sanguin. Namun, kadang-kadang ia menjadi pemurung, penuh depresi dan suka meimisahkan diri. Keadaan depresi sering menyebabkan perasan cemas yang tidak perlu, misalnya yang disebut hypocondria (merasa diri sakit, padahal tidak sakit). Sering sekali seorang melankolik mengatakan, “saya sakit….namun setelah diperiksi oleh dokter, tidak memiliki masalah apa-apa. Keadaan yang depresi, cemas atau “moody” hanya dapat diatasi bila seorang melankolik memberikanpengharapan di dalam Allah. Hanya Dia-lah yang menyebabkan seseorang dapat mengalahkan perasaan depresinya. Terlepas dari sifat lemah di atas,  seorang melankolik adalah sahabat yang setia, seorang yang paling dapat dipercaya, sebab sifatnya yang menghendaki kesempurnaan. Dia juga memiliki kerinduan yang sangat besar untuk dicintai. Seorang melankolik juga mempunyai daya kemampuan dalam menganalisis. Ia dapat melihat dengan jelas tantangan atau bahaya-bahaya dari suatu rencana/kegiatan yang akan dilakukan. Hal ini yang menyebabkan seorang melankolik  selalu memulai suatu perencanaan kegiatan yang realistis/konkrit, dapat dikerjakan, tidak bertele-tele!
3). Flegmatik. Seorang yang bertipe flegmatik mempunyai sifat khas antara lain: tak suka terburu-buru (kalm,tenang, lamban berfikir). Sifatnya yang dingin  dan kepribadiannya yang seperti pemalu, seorang flegmatik memiliki kecenderung untuk menjadi penonton dalam kehidupan atau menjadi pendengar yang baik dalam suatu ceramah atau seminar umum dan mencoba untuk tidak banyak lelibatkan diri dalam kegiatan orang lain. Dia tidak memiliki gairah atau ambisi dan jarang memiliki inisiatif untuk suatu kegiatan Namun bila dia dirangsang untuk mengungkapkan sesuatu pendapat/gagasan, seorang flegmatik akan mampu melakukannya dengan baik dan bahkan dapat memberi pengaruh positif pada orang lain. Sifat khas yang lain, bahwa seorang flegmatik tak mudah dipengaruhi (memiliki temperamen yang konsisten), suka bergaul / disukai orang dan memiliki sifat humor yang alamiah dan tidak pernah akan marah sekalipun dia harus berhadapan dengan seorang yang mempunyai darah mendidih Dia selalu memelihara pendekatan yang positif terhadap kehidupan.
(4). Sanguin. Seorang yang bertipe sanguin mempunyai sifat-sifat khas, antara lain hidup, seorang yang selalu periang, hangat dan menyenangkan. Secara alamiah , dia adalah seorang yang terbuka, respek terhadap orang lain, suka berbicara. Dalam suatu rapat pertemuan, misalnya seorang sanguis memiliki kecenderungan untuk mendominasi pembicaraan yang ada. Dari aspek perasaannya, seorang sanguis mudah tergerak perasaannya, tetapi tidak kuat, tidak mendalam dan tidak dapat berlangsung lama. Sehingga perhatiannya mudah berubah/ berganti haluan, kurang konsisten dengan apa yang ucapkan atau diperbuatnya. Sifat ini akan memberikan kesan bahwa seorang sanguin kurang dapat dipercaya.

B. Respon  Konselor  Berdasarkan Temperamen
Untuk lebih memahami kekhasan dari masing-masing temperamen, berikut ini disampaikan sebuah contoh bagaimana seorang konselor dengan temperamennya masing-masing memberikan respon atas persoalan siswa/konseli yang tengah dihadapinya.
Persoalan Konseli: “Ketika sedang istirahat, nampak seorang siswa duduk menyendiri di sudut serambi kelas. Wajahnya menunjukkan seolah sedang menghadapi suatu pesoalan. Tak seorang teman pun mendekat dan menyapanya. Dalam waktu yang bersamaan seorang Konselor berjalan dan persis melintas didepannya”.
Respon konselor: a). Tipe Sanguin: (Dengan memegang buku, dan tersenyum) “Eh, kamu istirahat  kok malah menyendiri.!”, b) Tipe Kolerik: (Mendekat sambil melihat tajam) “Kamu itu bagaimana sih, ini kan jam istirahat  ngapain mesti sendirian begitu!”, c) Tipe Melankoli: (Mendekat dengan penuh perasaan, seolah ikut dalam kesedihan yang sedang dialami) “Kamu kok menyendiri, ada apa sih?”, dan d) Tipe Flegmatik: (Santai, tidak peduli, seolah tidak ada sesuatu yang terjadi).
Dari contoh  persoalan diatas,  memperlihatkan dengan jelas bagaimana seseorang /pribadi dengan temperamen tertentu memberikan respon atas persoalan yang tengah dihadapi. Ada perbedaan tanggapan, dan ini jelas dipengaruhi oleh tempermen dari masing-masing pribadi. Tanggapan yang berbeda tentu akan berdampak pada terbentuknya sebuah perilaku baru yang berbeda-beda pula. Demikian dalam proses konseling, respon konselor terhadap konseli sangat memberikan andil bagi keberhasilan dari proses itu sendiri, yaitu terbentuknya kepribadian yang menyatu (terintegritas). Untuk ini pemahaman terhadap temperamen diri adalah sebuah pra kondisi dari seorang konselor guna menunjang  suksesnya sebuah proses konseling.

C. Penutup
Adanya kecenderungan-kecenderungan tertentu mengapa seseorang melakukan sesuatu tindakan tidak terlepas dari tipe temperamen dari setiap pribadi/individu. Untuk ini dengan memahami kekhasan dari setiap tipe  temperamen, akan memudahkan seseorang/konselor  mengetahui, “apa yang seharusnya saya lakukan dan apa yang seharusnya saya hindari atau tidak boleh saya lakukan”. Hal ini penting dalam sebuah interaksi konseling. Jangan sampai bahwa proses konseling menjadi gagal hanya karena munculnya sikap dan perilaku seorang konselor yang kurang pas, bahkan membuat konseli menjadi tidak nyaman..
Dengan kata lain bahwa temperamen sangat memberikan warna yang berbeda ketika interaksi dalam proses konseling terjadi. Kita dapat melihat contoh diatas, bagaimana respon konselor ketika dihadapkan sebuah masalah yang satu dan sama. Masing-masing  memberikan respon yang berbeda sesuai dengan tipe temperamennya.
Konseling yang didalamnya ada proses komunikasi atau proses interaksi antara seorang konselor dengan seorang konselee, membutuhkan  corak interaksi yang bersifat terapitis, yaitu interaksi yang mampu membangun keterbukaan pada diri konseli, sebab melalui dan didalam interaksi inilah proses konseling akan sampai pada tujuan yang diharapkan. Dalam hal ini, temperamen memberikan warna dari setiap proses interaksi konseling yang berdaya dan berhasil guna. Semoga!

Definisi, Fungsi, Dan Implementasi Bimbingan dan Konseling


Fungsi Bimbingan dan Konseling adalah :
  1. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
  2. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya.
  3. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseli dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
  4. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata.
  5. Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
  6. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
  7. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseli.
  8. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.
  9. Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.
  10. Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.
  11. Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseling
Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fundasi atau landasan bagi pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik di Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah:
  1. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual).
  2. Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok.
  3. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.
  4. Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork.
  5. Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan.
  6. Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut.
  1. Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
  2. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan yang diperlu-kan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.
  3. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
  4. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya.
  5. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.
  6. Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli) dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.
  7. Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
  8. Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
  9. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
  10. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
  11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.
Sumber :  http://situs-pendidikan.com/definisi-fungsi-dan-implementasi-bimbingan-dan-konseling/

Pengaruh Gaya Pengasuhan Orangtua Terhadap Kemandirian Remaja


Pengaruh Gaya Pengasuhan Orangtua Terhadap Kemandirian Remaja

Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam membentuk kepribadian seorang anak. Seorang anak akan tumbuh menjadi seorang remaja yang mandiri baik dalam hal emosi, berbuat, maupun berprinsip yang hal tersebut sangat dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orangtua dalam lingkungan keluarganya. Sehubungan dengan gaya pengasuhan orangtua dan hubungannya dengan kemandirian para remaja, hal yang terpenting diketahui oleh para orangtua bahwa seorang remaja juga sangat membutuhkan dukungan daripada sekedar pengasuhan, seorang remaja juga membutuhkan bimbingan daripada sekedar perlindungan, seorang remaja juga membutuhkan pengarahan daripada sekedar sosialisasi, dan seorang remaja dalam kehidupannya sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang (kebutuhan psikis) daripada sekedar pemenuhan kebutuhan fisik/materi semata. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat terkait pula dengan gaya pengasuhan yang diperankan oleh para orangtuanya, yang pada akhirnya juga sangat berpengaruh pada tumbuhnya kemandirian pada diri seorang anak ketika ia tumbuh menjadi seorang yang dewasa kelak.
A.    Pendahuluan
Semua orangtua tentu saja mengharapkan anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang cerdas, bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik. Namun harapan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dituntut kesabaran, keuletan dan kesungguhan dari para orangtua agar harapan tersebut dapat terwujud. Salah satu yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah menerapkan gaya pengasuhan yang tepat agar anaknya dapat berkembang menjadi manusia dewasa seperti yang diharapkan.
Wahana yang pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak adalah keluarga. Dalam lingkungan keluargalah anak diasuh dan dibesarkan sehingga mengalami suatu proses untuk “menjadi” seorang manusia yang dewasa.
Fungsi keluarga dalam proses memberi “corak dan warna” seorang anak sangat vital. Fungsi tersebut disamping sangat vital juga berubah dan mengalami perkembangan seiring dengan bertumbuh dan berkembangnya usia seorang anak Misalnya pada masa bayi dan kanak-kanak, fungsi dan tanggung jawab utama sebuah keluarga adalah mengasuh, merawat, melindungi, membesarkan, dan melakukan proses sosialisasi. Namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, misalnya ketika ia menjadi seorang remaja, maka fungsi utama keluarga akan bergeser dan bertambah pula. Seorang remaja lebih membutuhkan dukungan (support) dari sekedar pengasuhan (nurturance), ia lebih membutuhkan bimbingan (guidance) dari sekedar perlindungan (protection), dan seorang remaja lebih membutuhkan pengarahan (direction) dari sekedar sosialisasi (socialization) (Steinberg, 1991)
Berikut ini akan diuraikan bagaimana dan seperti apa kecenderungan seorang anak akan tumbuh menjadi seorang remaja yang mandiri jika dikaitkan dengan gaya pengasuhan (parenting style) dari orangtua.
B.     Kemandirian Remaja
Dalam Bahasa Indonesia, kata “mandiri” diartikan sebagai suatu keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang lain. Kata “kemandirian” adalah kata benda dari kata mandiri yang diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan orang lain, tanpa dikontrol oleh orang lain, dapat melakukan kegiatan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Johnson dan Medinnus, (Widjaja, 1986) menjelaskan bahwa kemandirian merupakan salah satu ciri kematangan yang memungkinkan seorang anak berfungsi otonom, berusaha ke arah terwujudnya prestasi pribadi dan tercapainya suatu tujuan.
Dalam istilah psikologi, kata mandiri dipadankan dengan kata otonomi (autonomy). Senada dengan pendapat di atas, secara singkat Chaplin (1997) dalam Kamus Psikologi memberikan arti kata autonomy sebagai keadaan pengaturan diri, atau kebebasan individu manusia untuk memilih, menguasai dan menentukan dirinya sendiri.
Dari beberapa pengertian kemandirian di atas, diambil suatu pengertian bahwa secara substansial kata mandiri/kemandirian dan kata otonomi (autonomy) mempunyai kata kunci yang sama yakni terlepas dari ketergantungan pada orang lain, mempunyai tanggung jawab pribadi serta mampu melaksanakan segala sesuatunya oleh dirinya sendiri.
Fasick dalam Rice (1996: 45) mengatakan: “one goal of every adolescent is to be accepted as an autonomous adult”. Dengan demikian, maka kemandirian merupakan salah satu aspek yang gigih diperjuangkan dan diidamkan oleh setiap para remaja. Tuntutan adanya separasi (separation) atau self-detachment dari para remaja terhadap orangtua atau keluarganya semakin tinggi, hal ini sejalan dengan memuncaknya proses perubahan fisik, kognisi, afeksi, sosial, moral dan mulai matangnya pribadi para remaja saat memasuki masa dewasa awal, dan berkembangnya kebutuhan akan kemandirian (autonomy) dan pengaturan diri sendiri (self directed) dari para remaja.
Steinberg (1993), menyatakan bahwa secara psikososial kemandirian tersusun dari tiga bagian pokok yaitu: 1). Emotional autonomy (kemandirian emosi), 2). Behavioral autonomy (kemandirian untuk bertindak atau berbuat), dan 3). Value autonomy (kemandirian nilai).
  • Emotional autonomy (kemandirian emosi), yaitu aspek kemandirian yang berhubungan dengan perubahan kedekatan/keterikatan hubungan emosional individu, terutama dengan orangtua.
Ketika seorang anak telah memasuki usia remaja, maka hubungan antara anak dengan orangtuanya akan terasa berubah. Seiring dengan timbulnya kemandirian seorang anak, terutama dalam hal mengurus dirinya sendiri maka waktu yang diluangkan untuk kebersamaan orangtua terhadap anaknya akan semakin berkurang dengan sangat tajam.
Interaksi sosial pada seorang anak remaja yang awalnya lebih banyak terjadi di dalam lingkungan keluarga akan bergerak menuju ke lingkungan di luar keluarganya. Jika selama ini seorang anak remaja ketika masih dalam masa kanak-kanak interaksi sosialnya terbatas hanya dalam lingkungan keluarga, maka pada masa remaja hal ini mulai berkurang seiring dengan bertambah luasnya lingkungan sosial atau pertemanan remaja yang didapatnya. Keterikatan seorang remaja dengan orangtuanya akan semakin bekurang, Ia akan berubah menjadi dirinya sendiri dan berusaha mencari model yang sesuai dengan keinginannya. Ketergantungan emosional seorang remaja terhadap orangtua atau keluarganya akan semakin berkurang, meskipun ikatan emosional sebagai seorang anak terhadap orangtuanya tidak serta merta dan tidak mungkin dapat dipatahkan secara sempurna (Rice, 1996).
Steinberg (1993) menyebutkan bahwa kemandirian emosi seorang remaja dapat dilihat dari beberapa indikator seperti diantaranya sebagai berikut:
  1. Tidak serta merta lari atau mengadu kepada orangtuanya ketika mereka dirundung kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran, atau ketika ia sedang membutuhkan bantuan.
  2. Tidak lagi memandang orangtuanya sebagai orang yang mengetahui segala-galanya atau menguasai segala-galanya.
  3. Seringkali mempunyai energi emosional yang besar dalam rangka menyelesaikan hubungan-hubungan di luar keluarganya, dan dalam kenyataannya mereka merasa lebih dekat dengan teman-temannya daripada orangtuanya sendiri.Mampu memandang dan berinteraksi dengan orangtuanya sebagai orang pada umumnya, artinya bukan semata-mata sebagai orangtuanya.
  4. Mampu memandang dan berinteraksi dengan orangtuanya sebagai orang pada umumnya, artinya bukan semata-mata sebagai orangtuanya.
  • Behavioral autonomy (kemandirian untuk bertindak atau berbuat), yaitu aspek kemampuan untuk membuat keputusan secara bebas dan melakukan tindak lanjut.
Mandiri dalam tingkah laku berarti bebas untuk bertindak/berbuat sendiri tanpa terlalu bergantung pada bimbingan/pertolongan dari orang lain. Kemandirian berbuat, khususnya kemampuan mandiri secara fisik sesungguhnya sudah dimulai sejak usia anak (Widjaja, 1986), kemudian akan meningkat dengan sangat tajam sepanjang usia remaja. Peningkatan ini bahkan lebih dramatis daripada peningkatan kemandirian emosional.
Kemandirian untuk berbuat sesungguhnya telah dimulai sejak dari adanya sebuah kewewenang yang diberikan oleh orangtua terhadap anaknya untuk berbuat atau melakukan sesuatu dengan sendiri. Secara psikologis, seorang remaja ingin mendapatkan kemandirian dalam hal bertingkah laku secara perlahan-lahan.
Pemberian kepercayaan sebaiknya diberikan secara bertahap atau sedikit demi sedikit terhadap seorang anak, hal ini akan memberikan situasi yang kondusif terhadap peningkatan kemandirian tingkah lakunya. Jika pemberian kewenangan atau kepercayaan diberikan secara berlebihan, maka kemungkinan justru akan dianggap oleh anak sebagai sebuah penolakan. Menurut Rice (1996), seorang anak ingin memikul tangungjawab sendiri, mempunyai kebebasan untuk berpendapat, ingin menggunakan kemampuannya sendiri dalam menyelesaikan masalah, namun pada hakekatnya ia menginginkan perhatian orangtua dan tidak menghendaki adanya kebebasan yang liberal atau kebebasan yang penuh.
Hill dan Holmbeck (dalam Steinberg (1993) mengemukakan beberapa indikator dari munculnya kemandirian berbuat pada seorang remaja diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan mengetahui dengan pasti kapan seharusnya meminta/mempertimbangkan nasehat orang lain.
  2. Mampu mempertimbangkan bagian-bagian alternatif dari tindakan yang dilakukan berdasarkan penilaian diri sendiri dan saran-saran orang lain,
  3. Mencapai suatu keputusan yang bebas tentang bagaimana seharusnya bertindak/melaksanakan keputusan dengan penuh percaya diri.
  4. Value autonomy (kemandirian nilai), yaitu aspek kebebasan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, hak dan kewajiban, apa yang penting dan apa yang kurang atau tidak penting.
Kemandirian nilai sesungguhnya menunjuk kepada suatu pengertian mengenai kemampuan seseorang dalam mengambil sebuah keputusan dan menetapkan sebuah pilihan dengan berpegang atas dasar prinsip-prinsip individual yang dimilikinya daripada mengambil prinsip-prinsip dari orang lain.
Jika dibandingkan dengan dua kemandirian sebelumnya yakni kemandirian emosi dan kemandirian untuk berbuat, maka kemandirian nilai merupakan proses yang paling kompleks, tidak jelas bagaimana prosesnya berlangsung dan seperti apa pencapaiannya, terjadi melalui proses internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari dan umumnya berkembang paling akhir, dan paling sulit dicapai secara sempurna. Menurut Thornburg (1982), kemandirian nilai akan lebih berkembang setelah sebagian besar keputusan yang menyangkut cita-cita, pendidikan, rencana pekerjaan, dan perkawinan dialami dan dicapainya. Dalam banyak kasus, sistem nilai remaja dan orangtua sedemikian sama sehingga nilai-nilai orangtua akan dilestarikan oleh seorang remaja pada masa setelah ia dewasa.
Perkembangan kemandirian nilai membawa perubahan-perubahan pada konsepsi-konsepsi remaja tentang moral, politik, ideologi dan persoalan-persoalan agama. Steinberg (1993) menyebutkan bahwa tanda-tanda perkembangan kemandirian nilai remaja diantaranya sebagai berikut:
a. Cara remaja dalam memikirkan segala sesuatu menjadi semakin abstrak,
b. Keyakinan-keyakinan remaja menjadi semakin bertambah mengakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki beberapa basis idiologis,
c. Keyakinan-keyakinan remaja menjadi semakin bertambah tinggi dalam nilai-nilai mereka sendiri, bukan hanya dalam suatu sistem nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau figur pemegang kekuasaan lainnya
C.     Pengaruh Gaya Pengasuhan Orangtua terhadap Kemandirian Remaja
Remaja yang mandiri adalah remaja yang memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri secara bertanggung jawab meskipun tidak ada pengawasan dari orangtuanya (Steinberg, 1993). Kondisi demikian menyebabkan remaja memiliki peran dan sekaligus tanggung jawab baru, remaja menjadi tidak tergantung pada orang tuanya untuk memperoleh kemandirian secara emosional. Kemandirian menuntut kesiapan individu baik secara fisik maupun emosional untuk mengatur, mengurus, dan melakukan aktivitas atas tanggung jawabnya sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Namun kurangnya pengalaman remaja dalam menghadapi berbagai masalahnya menyebabkan mereka seringkali mengalami kesulitan dalam memperoleh kemandirian emosional.
Kemandirian adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan remaja dan merupakan bagian dari tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya sebagai persiapan untuk memasuki masa dewasa. Perkembangan kemandirian yang menonjol terjadi selama masa remaja, perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan sosial terjadi pada periode ini (Steinberg, 1993). Oleh sebab itu, kemandirian remaja dipandang sebagai sesuatu yang mendasar dan patut mendapat perhatian agar mereka dengan mantap dapat memasuki dunianya yang baru, yaitu masa dewasa tanpa mengalami hambatan yang berarti.
Ciri perkembangan kemandirian pada remaja diantaranya dapat dilihat pada perubahan hubungan kedekatan emosional antara remaja dengan orang tuanya. Perubahan hubungan tersebut sebagai proses transformasi, meskipun hubungan-hubungan mengalami perubahan, namun ikatan-ikatan perasaan (emosi) bagaimanapun tidak akan putus (Steinberg, 1993).
Perkembangan kemandirian remaja dapat dilihat dalam pola-pola pengertian yang dikembangkan remaja mengenai individualisasi. Proses individualisasi dimulai dari masa bayi dan terus berlanjut hingga memasuki masa remaja awal, meliputi perubahan yang berangsur-angsur (gradual) dan bergerak maju (progressive) bergerak ke arah individu yang mandiri, yang kompeten, dan terpisah dari orangtua. Proses individualisi merupakan pelepasan ketergantungan-ketergantungan seorang anak pada orangtuanya yang mendukung untuk menjadi lebih dewasa, lebih bertanggung jawab, dan mandiri.
Pada masa remaja, salah satu tugas perkembangannya adalah memperoleh kemandirian emosional dari orangtuanya dan dari orang dewasa lainnya (Havighrust, dalam Hurlock 1997). Perkembangan kemandiran emosional remaja dimulai dari terjadinya perubahan hubungan emosional antara remaja dengan orangtuanya, mereka mulai mengambil jarak dengan orangtuanya dan ingin mengatasi masalahnya sendiri. Perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam hubungan keluarga dapat memberikan anak lebih bebas dan lebih mendorong munculnya tanggung jawab anak, namun tidak mengancam ikatan emosional antara orangtua dengan anaknya (Baumrind, 1967). Perubahan demikian memberikan perkembangan kemandirian emosi akan semakin meningkat dan mudah untuk menciptakan sebuah keluarga yang fleksibel.
Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya kemandirian emosi remaja dimulai dari lingkungan keluarga melalui pola pengasuhan orangtua sehari-hari, kondisi pekerjaan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan banyaknya anggota keluarga (Steinberg, 1993). Di samping faktor tersebut, faktor yang turut mempengaruhi terbentuknya kemandirian emosi remaja adalah peran orangtua tunggal (single parent) ataupun peran kedua orangtua yang keduanya berkarir dan mengharapkan anak remajanya mandiri sepanjang hari. Demikian pula dengan urutan anak dan jumlah saudara dalam sebuah keluarga turut mempengaruhi kemandirian emosi remaja, misalnya; anak yang lebih tua (walau usianya masih muda) sering diberikan tanggung jawab dan kebebasan oleh orangtuanya yang lebih besar.
Orangtua, melalui gaya pengasuhannya, dipandang sebagai faktor penentu (determinant factor) yang mempengaruhi perkembangan kemandirian emosi remaja. Disadari atau tidak, gaya asuh orangtua telah meletakkan dasar-dasar perkembangan pola sikap dan tingkah laku anaknya.
Dalam sebuah keluarga, interaksi antara orangtua dengan anaknya melibatkan pola tingkah laku tertentu dari orangtua. Pola interaksi antara orangtua dengan anak dalam sebuah keluarga untuk mengajar, membimbing dan mendidik dengan suatu tujuan tertentu dinamakan gaya pengasuhan (parenting style). Gaya pengasuhan merupakan cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam berinteraksi antara orangtua dengan anaknya.
Penelitian tentang gaya pengasuhan orangtua telah dilakukan sejak tahun 1930-an. Salah seorang peneliti yang teorinya banyak digunakan hingga sekarang dan dianggap paling populer adalah Baumrind. Baumrind (1991) mengemukakan 4 (empat) macam gaya pengasuhan orangtua yakni: authoritarian, authoritative, permissive, dan uninvolved/neglectful. Keempat gaya pengasuhan tersebut memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dan masing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku anak.
1. Authoritarian.
Gaya authoritarian merupakan suatu bentuk pengasuhan orangtua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orangtua yang bergaya authoritarian menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orangtua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Orangtua demikian sulit menerima pandangan anaknya, tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi semua Orangtua yang bergaya authoritarian meyakini bahwa seorang anak akan menerima dengan baik setiap perkataan atau setiap perintah orangtuanya, setiap anak harus melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orangtuanya (Baumrind, 1967). Orangtua auhtoritarian akan mencoba mengontrol remaja dengan peraturan-peraturan yang mereka tetapkan, selalu memberi perintah tanpa mau memberikan penjelasan. Orangtua authoritarian selalu menuntut, kurang memberikan otonomi pada anaknya, dan seringkali gagal memberikan kehangatan kepada anaknya..
Orangtua yang bergaya authoritarian selalu berusaha mengarahkan, menentukan, dan menilai tingkah laku dan sikap anaknya sesuai dengan standar peraturan yang ditetapkannya sendiri. Standar dimaksud biasanya didasarkan pada standar yang absolut seperti nilai-nilai ajaran dan norma-norma agama, sehingga menutup kemungkinan bagi anaknya untuk dapat membantah orangtuanya. Gaya pengasuhan orangtua yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik dan perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atau sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang remaja terhadap orangtuanya (Rice, 1996), anak remaja akan kehilangan aktivitas kreatifnya, dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock, 1985), remaja cenderung akan mengucilkan dirinya, kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak merasa bahagia (Baumrind, 1967).
Seorang remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orangtua authoritarian cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orangtuanya, namun di balik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Sikap-sikap remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan remaja cenderung untuk selalu tergantung pada orangtuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya disebabkan semuanya disandarkan pada aturan dan kehendak orangtuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang remaja yang berada dalam asuhan orangtua yang authoritarian akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dalam hidupnya kelak.
2. Authoritative
Bentuk perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak (dalam hal ini anak usia remaja) dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan authoritative. Orangtua yang authoritative bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional, orangtua demikian mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya, dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran.
Orangtua yang bergaya authoritative bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas. Mereka menerapkan seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya, tetapi sekaligus berusaha membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan anak-anaknya. Mereka juga menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan sabar pandangan anak-anaknya, dan mendukung keterlibatan anaknya dalam membuat keputusan di dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orangtua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang authoritative.
Dalam keluarga yang authoritative, keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima maka orangtua yang authoritative akan memberikan dukungan, tetapi jika tidak maka orangtua akan menjelaskan alasan-alasannya mengapa dia tidak merestui keputusan anaknya tersebut. Pola interaksi yang demikian akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memahami pandangan orang lain yang pada akhirnya dapat mengantar pada suatu keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Orangtua yang authoritative selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya, sekaligus tetap bertanggung jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya. Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orangtua yang authoritative. Dalam mengatur hubungan diantara anggota keluarganya, orangtua yang authoritative akan menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan yang disertai dengan pengertian dan cinta kasih. Anak-anaknya akan didorong untuk dapat melepaskan diri (self-detach) secara berangsur-angsur dari ketergantungan terhadap keluarga (Steinberg, 1993, Rice, 1996, Thornburg, 1982).
Santrock (1985) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan gaya pengasuhan orangtua yang authoritative akan memunculkan keberanian, motivasi dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya. Gaya pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab sosial pada anak remaja.
Para remaja yang hidup dalam keluarga yang authoritative akan menjalani kehidupannya dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak anarkis (Baumrind, 1967). Mereka juga akan memiliki kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang baik, memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya.
3. Permissive
Pola-pola perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat merupakan bentuk atau gaya pengasuhan yang permissive.
Orangtua yang permissive akan memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Sekiranya orangtua membuat sebuah peraturan tertentu namun anak-anaknya tidak menyetujui atau tidak mematuhinya, maka orangtua yang permissive cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan anak-anaknya.
Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orangtua yang permissive jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar suatu peraturan tersebut. Orangtua yang seperti demikian umumnya membiarkan anaknya (terutama anak remajanya) untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orangtua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anak remajanya (Baumrind, 1967).
Sedikit, atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap anak remajanya, lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak remajanya merupakan ciri dari gaya pengasuhan dari orangtua yang permissive. Gaya pengasuhan demikian dipilih oleh orangtua yang permissive karena mereka menganggap bahwa remaja harus memiliki kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa (Baumrind, 1967). Orangtua yang permissive bersikap lunak, lemah dan pasif dalam persoalan disiplin. Mereka cenderng tidak menempatkan tuntutan-tuntutan pada tingkah laku anak remajanya, memberikan kebebasan yang lebih tinggi untuk bertindak sesuai dengan kehendak anak remajanya sendirinya. Kontrol atau pengendalian yang ketat terhadap remaja menurut pandangan orangtua yang permissive adalah sebuah pelanggaran terhadap kebebasan yang dapat menganggu perkembangan seorang remaja (Steinberg, 1993)
Menurut Baumrind (1971), remaja yang berada dalam pengasuhan orangtua yang permissive sangat tidak matang dalam berbagai aspek psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsive), tidak patuh, dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan-keinginan sesaatnya. Mereka juga terlalu menuntut, sangat tergantung pada orang lain, kurang gigih dalam mengerjakan tugas-tugas, tidak tekun dalam belajar di sekolah. Tingkah laku sosial remaja ini kurang matang, kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat jelek, dan tidak mampu mengarahkan diri dan tidak bertanggung jawab (Santrock, 1985).
Meskipun di satu sisi gaya pengasuhan yang permissive dapat memberikan remaja kebebasan bertingkah laku, namun di sisi lain tidak selalu dapat meningkatkan tingkah laku bertanggung jawab. Remaja yang mendapatkan kebebasan tanpa adanya pembatasan yang jelas cenderung bersifat suka menang sendiri dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Kurangnya bimbingan dan pengarahan dari orangtua menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak punya orientasi, dan penuh keraguan. Jika remaja menafsirkan bahwa kelonggaran pengawasan dari orangtua mereka sebagai bentuk dari tidak adanya perhatian atau penolakan terhadap diri mereka, maka mereka akan menyalahkan orangtuanya sebab dipandang telah lalai memperingatkan dan menuntun mereka (Rice, 1996).
4. Uninvolved/neglectful
Gaya pengasuhan uninvolved/neglectful adalah gaya pengasuhan dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula pusing-pusing dengan kehidupan anaknya. Gaya pengasuhan orangtua yang uninvolved lebih berdampak buruk dibandingkan dengan gaya pengasuhan yang permissive karena tidak adanya ikatan emosi ditambah dengan penerapan batasan yang kabur. Orangtua yang demikian hanya fokus pada penyediaan kebutuhan materi/fisik saja terhadap anak-anaknya, pemenuhan kebutuhan immateri/psikis anaknya terabaikan atau bahkan sama sekali tidak pernah diperhatikannya, padahal kebutuhan immateri/psikis seorang anak lebih penting dari sekedar pemenuhan kebutuhan materi/fisik.
Anak dari orangtua yang memiliki gaya pengasuhan uninvolved, ketika mereka tumbuh menjadi remaja, biasanya sering mencari pelarian dari rasa kesepiannya dengan cara mencari penerimaan dari orang lain. Akibatnya mereka seringkali terlibat dalam masalah-masalah perilaku dibandingkan dengan anak yang memiliki orangtua dengan gaya pengasuhan authoritative. Masalah perilaku tersebut misalnya perilaku seks bebas, penggunaan obat-obatan terlarang, maupun berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya sebagai salah satu cara atau bentuk mereka dalam mencari penerimaan dari orang lain. Secara emosi, remaja yang seperti ini mudah sekali mengalami depresi dan sering merasa ditolak. Dalam banyak kejadian, mereka tumbuh dengan perasaan ingin melawan, menentang, dan rasa marah yang bergejolak kepada orangtuanya karena merasa telah diabaikan dan dikucilkan. Mereka akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orang tuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak buruk ini akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak tertutup kemungkinan pula anak akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak. Akibatnya, masalah menyerupai lingkaran setan yang tidak pernah putus.
D.      Penutup
Semua orangtua tentu saja mengharapkan anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang cerdas, bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik. Namun harapan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dituntut kesabaran, keuletan dan kesungguhan dari para orangtua agar harapan tersebut dapat terwujud. Salah satu yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah menerapkan gaya pengasuhan yang tepat agar anaknya dapat berkembang menjadi manusia dewasa seperti yang diharapkan.
Gaya pengasuhan yang authoritative memang dikenal yang paling ideal, tetapi mungkin adakalanya orangtua tak mampu menerapkan gaya pengasuhan seperti itu dengan sepenuhnya terutama pada saat emosi orangtua sedang tidak stabil. Misalnya, ketika sedang mengalami kondisi emosi yang tidak baik/negatif, orangtua cenderung bersikap lebih otoriter terhadap anaknya. Atau misalnya ketika orangtua sedang merasa senang karena usaha/bisnisnya berhasil, maka orangtua cenderung bersikap agak permisif terhadap anaknya.
Kondisi ini, menurut Mayke (http://www.tabloidnakita.com/Khasanah/ khasanah 06279 – 08.htm), masih manusiawi karena memang emosi manusia cenderung naik turun. “Yang penting, sikap orang tua masih dalam situasi terkontrol, maksudnya segera menyadari dan kembali pada rambu-rambu yang telah ditetapkan,” tambahnya. Ada kemungkinan dalam kondisi tertentu orang tua memang harus bersikap tegas bila berhubungan dengan keselamatan jiwa anak atau orang lain. Misalnya ketika anak ingin bermain kabel yang dialiri listrik. Bila hal ini didiamkan, tentu dapat membahayakan jiwanya. Mau tidak mau orang tua harus bersikap otoriter, pada saat kondisi demikian, katakan lah: “tidak” kepada si anak bahwa hal itu tidak boleh dilakukannya.
Sehubungan dengan gaya pengasuhan orangtua dalam rangka memandirikan para remaja, maka hal yang terpenting diketahui oleh para orangtua bahwa seorang remaja lebih membutuhkan dukungan dari sekedar pengasuhan, seorang remaja lebih membutuhkan bimbingan dari sekedar perlindungan, seorang remaja lebih membutuhkan pengarahan dari sekedar sosialisasi, dan seorang remaja dalam kehidupannya lebih membutuhkan perhatian dan kasih sayang (kebutuhan psikis) daripada sekedar pemenuhan kebutuhan fisik belaka.
DAFTAR PUSTAKA
Baumrind, D. (1967). Child-care practices anteceding three patterns of preschool behavior. Genetic Psychology Monographs, 75, 43-88.
Baumrind, D. (1971) Current Patterns of Parental Authority, Developmental Psychology Monographs. London : Foresman and Company, Glenview.
Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent competence and substance use. Journal of Early Adolescence, 11(1), 56-95.
Chaplin, JP. (1997). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hurlock, E.B. (1989). Developmental Psychology. A Life-Span Approach. India: Tata McGraw- Hill Pub. Company Ltd.. 8th ed (reprinted).
Hurlock, E. B. (1993). Psikologi Perkembangan. Alih bahasa: Dra. Istiwidayanti dan Drs Soedjarwo, Msc. Jakarta: Erlangga.
Widjaja, Hanna. (1986). Hubungan Antara Asuhan Anak dan Ketergantungan Kemandirian. (Disertasi). Bandung: Universitas Padjadjaran
Tim Penyusun Kamus (1997) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka
Khazanah Nakita (http://www.tabloid-nakita.com/Khasanah/khasanah 06279-08.htm), di akses pada tanggal 31 Januari 2010.
Rice, F. P. (1996) The Adolescent: Development, Relathionship, and Culture.Massachusetts : Allyn and Bacon
Santrock, J.W, 1985, Adult Development and Aging, Iowa : Wm, C. Brown
Steinberg (1993). Adolescence, Third Edition, New York: McGraw-Hill, Inc.
Thornburg,. H.D, (1982). Dvelopment in Adolescence. California : Brooks/Cole

Urgensi Pendidikan Karakter

Urgensi Pendidikan Karakter

Prof . Suyanto Ph.D
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Memahami Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Dampak Pendidikan Karakter
Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
sumber : Ditjen Mandikdasmen – Kementerian Pendidikan Nasional

Membaca Kepribadian Menggunakan Tes MBTI (Myer Briggs Type Indicator)




Membaca Kepribadian Menggunakan Tes MBTI

(Myer Briggs Type Indicator)


Membaca kepribadian adalah ilmu yang sangat menarik. Sebab kita secara alami tertarik pada diri sendiri. Selain itu, kita juga tertarik dengan hubungan sosial dengan orang lain, minimal dengan pasangan kita. Mungkin kita pernah mendengar tipe-tipe kepribadian seperti kholeris, sanguinis, melankolis & phlegmatis. Tipologi kepribadian tersebut dikembangkan oleh filsuf Yunani kuno bernama Hipokrates yang kemudian dilanjutkan oleh Claudius Galen. Ilmu membaca kepribadian seseorang memang bukan hal baru dan sudah dikembangkan beratus-ratus tahun
lamanya. Namun, sampai hari ini belum ada teori maupun alat (tes) yang bisa menjelaskan 100% akurat mengenai kepribadian dan perilaku seseorang. Sebab manusia itu unik. Hampir tidak ada manusia yang sama satu sama lain, walaupun mereka kembar identik.
Meskipun demikian setidaknya kita bisa menggunakan konsep hukum 20/80 dari Vilvredo Pareto. Kita bisa menggunakan alat ukur yang hanya mengukur 20% saja namun mampu mewakili sebagian besar (80%) aspek yang diukur. Dewasa ini, alat tes kepribadian mudah sekali kita jumpai dan sangat bervariasi. Mulai dari tes projektif seperti tes grafis (menggambar house, tree, person, & wartegg) serta tes Rorschach yang mengungkap alam bawah sadar manusia sampai dengan tes inventori/objektif yang mengandalkan kejujuran pengisinya.
Nah, di antara tes kepribadian inventori yang boleh dikatakan paling akurat, mudah
digunakan dan banyak dipakai adalah MBTI (Myer Briggs Type Indicator). MBTI dikembangkan oleh Katharine Cook Briggs dan putrinya yang bernama Isabel Briggs Myers berdasarkan teori kepribadian dari Carl Gustav Jung.
A. Empat Skala Kecenderungan
MBTI bersandar pada empat dimensi utama yang saling berlawanan (dikotomis). Walaupun berlawanan sebetulnya kita memiliki semuanya, hanya saja kita lebih cenderung /nyaman pada salah satu arah tertentu. Seperti es krim dan coklat panas, mungkin kita mau dua-duanya tetapi cenderung lebih menyukai salah satunya. Masing-masing ada sisi positifnya tapi ada pula sisi negatifnya. Nah, seperti itu pula dalam skala kecenderungan MBTI.
Berikut empat skala kecenderungan MBTI;
  1. Extrovert (E) vs. Introvert (I). Dimensi EI melihat orientasi energi kita ke dalam atau ke luar. Ekstrovert artinya tipe pribadi yang suka dunia luar. Mereka suka bergaul, menyenangi interaksi sosial, beraktifitas dengan orang lain, serta berfokus pada dunia luar dan action oriented. Mereka bagus dalam hal berurusan dengan orang dan hal operasional. Sebaliknya, tipe introvert adalah mereka yang suka dunia dalam (diri sendiri). Mereka senang menyendiri, merenung, membaca, menulis dan tidak begitu suka bergaul dengan banyak orang. Mereka mampu bekerja sendiri, penuh konsentrasi dan focus. Mereka bagus dalam pengolahan data secara internal dan pekerjaan back office.
  2. Sensing (S) vs. Intuition (N). Dimensi SN melihat bagaimana individu memproses data. Sensing memproses data dengan cara bersandar pada fakta yang konkrit, praktis, realistis dan melihat data apa adanya. Mereka menggunakan pedoman pengalaman dan data konkrit serta memilih cara-cara yang sudah terbukti. Mereka fokus pada masa kini (apa yang bisa diperbaiki sekarang). Mereka bagus dalam perencanaan teknis dan detail aplikatif. Sementara tipe intuition memproses data dengan melihat pola dan hubungan, pemikir abstrak, konseptual serta melihat berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Mereka berpedoman imajinasi, memilih cara unik, dan berfokus pada masa depan (apa yang mungkin dicapai di masa mendatang). Mereka inovatif, penuh inspirasi dan ide unik. Mereka bagus dalam penyusunan konsep, ide, dan visi jangka panjang.
  3. Thinking (T) vs. Feeling (F). Dimensi ketiga melihat bagaimana orang mengambil keputusan. Thinking adalah mereka yang selalu menggunakan logika dan kekuatan analisa untuk mengambil keputusan. Mereka cenderung berorientasi pada tugas dan objektif. Terkesan kaku dan keras kepala. Mereka menerapkan prinsip dengan konsisten. Bagus dalam melakukan analisa dan menjaga prosedur/standar. Sementara feeling adalah mereka yang melibatkan perasaan, empati serta nilai-nilai yang diyakini ketika hendak mengambil keputusan. Mereka berorientasi pada hubungan dan subjektif. Mereka akomodatif tapi sering terkesan memihak. Mereka empatik dan menginginkan harmoni. Bagus dalam menjaga keharmonisan dan memelihara hubungan.
  4. Judging (J) vs. Perceiving (P). Dimensi terakhir melihat derajat fleksibilitas seseorang. Judging di sini bukan berarti judgemental (menghakimi). Judging diartikan sebagai tipe orang yang selalu bertumpu pada rencana yang sistematis, serta senantiasa berpikir dan bertindak teratur (tidak melompat-lompat). Mereka tidak suka hal-hal mendadak dan di luar perencanaan. Mereka ingin merencanakan pekerjaan dan mengikuti rencana itu. Mereka bagus dalam penjadwalan, penetapan struktur, dan perencanaan step by step. Sementara tipe perceiving adalah mereka yang bersikap fleksibel, spontan, adaptif, dan bertindak secara acak untuk melihat beragam peluang yang muncul. Perubahan mendadak tidak masalah dan ketidakpastian membuat mereka bergairah. Bagus dalam menghadapi perubahan dan situasi mendadak
B. Manfaat MBTI
  1. Bimbingan Konseling, MBTI sangat berguna di dunia pendidikan dan pengembangan karier. MBTI bisa digunakan sebagai panduan untuk memilih jurusan kuliah sampai dengan profesi yang cocok dengan kepribadian.
  2. Pengembangan Diri, Dengan MBTI kita bisa memahami kelebihan (Strength) diri kita sekaligus kelemahan (Weakness) yang ada pada diri sendiri. Kita bisa lebih fokus mengembangkan kelebihan kita sekaligus mencari cara memperbaiki sisi negatif kita.
  3. Memahami Orang Lain dengan lebih baik, MBTI membantu memperbaiki hubungan dan cara pandang kita terhadap orang lain. Kita bisa lebih memahami dan menerima perbedaan. Tidak semua orang berfikir, bersikap dan berperilaku seperti cara kita berperilaku. Jadi terimalah perbedaan yang ada.